Apa Itu: Pro[j]ek Mimpi

Foto saya
Jakarta, Indonesia
Selama mimpi ngga harus dibeli, jangan takut rugi menaruh hati pada keyakinan diri. Yakini dan miliki! |a reality book and workshop project by Bernadette Irene @blessedirene - seorang penulis kertas dunia maya,metalhead dan bekerja untuk tujuan kemanusiaan Motor penggerak kami adalah: ANDA dan jutaan pemimpi-pemimpi besar lainnya yang menginspirasi kami. Mari bermimpi - karena tidak ada mimpi yang kembali dengan sia-sia. Awal mewujudkan mimpi adalah dengan menuliskan mimpi itu sendiri. Kirimkan tulisan berisi mimpi kalian dalam format digital (.doc, .rtf atau .txt) ke projekmimpi@gmail.com Tulisan yang paling unik, inspiratif dan membawa motivasi bagi banyak orang akan dibukukan dalam "Pro[J]ek Mimpi" dan selanjutnya dipresentasikan ke dewan publik yg terdiri dari orang-orang awam,publik figur dan juga calon sponsor yang boleh jadi menjadi salah satu jalan untuk membantu mewujudkan mimpi-mimpi tersebut. Tidak ada batas waktu pengiriman tulisan. Mari bermimpi dan retaskan mimpimu dalam deretan aksara!

Selasa, 08 November 2011

Mengacak Dunia Segiempat [Bernadette 'Renee' Irene]



Berkaca di Cermin Mimpi

Berawal dari kelas bawah lalu merangkak naik menjadi penghuni dunia kelas atas? Ah itu biasa. Mendadak hujan materi dan lupa kulit? Sudah ribuan cerita. Namun apa kabar untuk seorang anak tunggal yang sempat menikmati gaya hidup kelas satu, namun akhirnya harus menghadapi jungkir balik hidup 180 derajat dan berhasil kembali bangkit? Seorang wanita bernama lengkap Bernadette ‘Renee’ Irene menerjang badai dengan modal mimpi.

Tumbuh dari keluarga berada dan berlatar belakang pendidikan baik membuat kehidupan Renee kecil nyaris sempurna. Rumah mewah di kawasan yang cukup bergengsi di ibukota, cukup duduk manis setiap akan pergi kemanapun, dan tentunya mengenyam pendidikan di tempat dengan level nomor wahid dan tentunya dibekali dengan fasilitas pembelajaran yang luar biasa.

Namun penguasa jagat raya seolah tak ingin membiarkan umatnya manja. Di penghujung ia menghabiskan masa-masa indah berseragam putih merah, badai menghantam. Hati yang hanya satu-satunya itu hancur ketika mengetahui bila orang tua yang selama ini membesarkannya ternyata tak pernah mengandungnya.

Semenjak pengorekan fakta itulah, perlakuan tidak menyenangkan mulai menyeruak. Dari mulai gebukan sapu hingga aneka benda tumpul sudah menjadi kudapan setiap hari di hunian. Kehidupan rumahan menjadi tak lagi menyenangkan, kabur-kaburanpun menjadi pilihan.

Kesakitan-kesakitan itu disimpannya di urat nadi, boleh jadi wanita yang telah lima kali menjajal menghabisi nyawanya sendiri [namun gagal dan mengantarkannya untuk mengingat kewajiban 5 waktu] sehingga akhirnya melempar asa ke udara dalam bentuk gelembung-gelembung mimpi.

Bicara soal polah masa muda, Renee adalah seorang perempuan yang sangat preman. Belajar membuat ‘kerajinan tangan’ di akhir berseragam putih merah dan kian menggila ketika memasuki era kehidupan sekolah menengah.  Nyaris segala kenikmatan tak ada yang terlewat untuk dicicipinya.

Keputusannya melanjutkan studi di sekolah menengah pariwisata dan perhotelan kembali ditentang keluarganya.Namun Renee tak menyerah dengan keadaan. Meski ditentang, tetap melanjutkan dan menyelesaikannya dengan hasil terbaik.

Lepas sekolah menengah ternyata tak membuka ruang bebas baginya. Kuliah di luar kotapun menjadi dalih untuk melangkah jauh dari rumah. Mengenal kehidupan baru di Bandung, ia menikmati nafas bebas yang beda. Malam seolah tak pernah habis. Mulai dari sekedar eksis di warnet sampai pagi hingga berpesta seolah tak ada hari lagi.

Gagal merampungkan kuliah pertamanya, Renee kembali ke ibukota. Menjajal peruntungan studi di tanah kelahiran, dan sampai detik ini [belum] mengantongi ijazah. Tak pelak, orang tuanya memberi bingkisan vonis ucapan bila dengan keadaannya yang [hanya] berbekal ijazah SMA anak satu-satunya ini [cuma] layak menerima upah setara PRT.  Meski sempat terpelanting-pelanting, sang penguasa jagat raya tak pernah berat sebelah. Dititipkannya kemampuan berbahasa yang luar biasa pada wanita pecinta musik cadas ini. Disalurkannya kebisaan ini lewat mengajar dengan upah seadanya. Sementara hasrat meracau dimuntahkannya lewat deretan kata di lembaran dunia maya.



Di usia yang terbilang belia, Renee harus menjadi ibu bagi seorang anak sendirian. Keputusan berat ini diambilnya setelah sang mantan suami tak kunjung berhenti dari jerat pemadat. Setelah memutar-mutar otak, akhirnya ia memutuskan untuk terbang ke Pulau Dewata demi mengepulkan asap dapur dan membesarkan buah hatinya dengan penuh cinta dan memenuhi segala kebutuhannya tanpa kecuali. Lagi, sang pemberi kehidupan memberikan berkah untuk seorang ibu dan anak dengan mengirimkan kepercayaan padanya lewat pekerjaan yang bagi sebagian orang tanpa ijazah kuliahan hanya dianggap mimpi - jabatan Manager untuk beberapa perusahaan lokal dan asing terkemuka selalu berhasil disandangnya

Kegundahannya semakin mencuat ketika keyakinannya terusik. Hingga akhirnya ia menemukan keajaiban shalat dan adzan yang membuatnya bersimpuh dan memutuskan untuk mengucap dua kalimat syahadat. Keputusan ini kembali ditentang keluarga, hingga tak ada sekecap aksarapun yang keluar dari mulut kedua orang yang membesarkannya.

Gelembung mimpi Renee membawanya kembali ke ibukota di tahun kelinci ini. Namun kini semangatnya seolah kembali membuncah. Ia menemukan banyak keajaiban dari banyak tiupan mimpi yang tak terlupakan. Mulai dari bertemu seorang pasangan yang tak bisa dilepaskan, menjadi wanita seutuhnya dengan menutup yang seharusnya tak boleh dilihat, hingga bekerja untuk tujuan kemanusiaan tanpa kehilangan aura tomboismenya.  Mimpi masa depannyapun begitu sederhana namun bermakna dalam. “Ingin berbagi dengan banyak orang agar tak lagi malu menghitam di masa lalu,”.



Hijabers can still rawkin fo' sure


Perjalanan ke Ujung Mimpi [Eko Budi 'Buday' Minarto]

 
Tuntaskan, Jangan Biarkan Tak Habis
Siapa sangka dIbalik raut garang, seorang pencabik gitar yang sempat tergabung dalam sebuah band underground dengan distorsi yang meraung-raung memiliki mimpi besar yang [luar] biasa. Untuk mengetahuinya, jelas diperlukan analogi sejati dari mata hati. Sedikit kebingungan teraut di wajah pria bernama pemberian orang tua Eko Budi Minarto dan akrab disapa ‘Buday’ ini ketika ia mencoba merangkai kata akan sebuah mimpi dari balik kacamatanya.

Musik rock yang menjadi kegemarannya boleh jadi tak kalah keras dengan kehidupan ayah dari dua orang anak laki-laki ini. Namun siapa sangka, darah cadas inilah yang menghantarkannya ke suatu masa yang disebutnya sebagai ujung mimpi.

Masa kecilnya dihabiskan layaknya kebanyakan bocah pada umumnya. Bermain dan berada dalam asuhan orang tua yang penuh kehangatan. Namun semua berubah sejak seragam putih merah berubah menjadi putih biru. Perhatian orang tua mulai berbeda kadar. Merasa ingin membuat mereka tersadar, Budaypun menjajal menciptakan berbagai aksi tanpa merasa gentar.

Uang jajan yang cukup melimpah membuatnya bebas menguasai jalanan. Derungan musik rock tetap menemani keseharian. Seragam boleh masih putih biru, namun jiwa sudah berubah menjadi penikmat aneka ‘jajanan’ jalanan. Namun hal ini tidak membuatnya menjadi anak ‘kurungan’, justru kebebasan tingkat dewa menjadi santapan.

Aksi nekatpun dilakukan demi mengembalikan perhatian kedua orang yang membuatnya terlahir kedunia. Kali ini dengan sengaja menyembunyikan ‘pil kebahagiaan’. Namun ketika ketahuan, justru perselisihan antara keduanya yang terjadi.

Kekesalan kian menggunung membuatnya jengah dan memilih untuk semakin ugal-ugalan. Buku-buku tulisnya penuh dengan goresan ‘Fuck All The People, I Love MySelf’. Tak lagi ada orang-orang yang bisa dipercaya. Semuanya menjadi terlihat imitasi. Perkelahian sudah menjadi makanan sehari-hari saat berseragam putih abu. Setiap belokan selalu membuat hati deg-degan.

Masa kegelapan ini membuat Buday sukses menyelesaikan SMA dalam waktu 5 tahun. Lulus ternyata tidak membuat masa depan mendapat pencerahan. Yang ada justru perdebatan antara angan dan harapan orang tua yang berbuah pada tekanan.

Rumah dan studio musik tercintanya menjadi terasa membosankan karena tidak adanya keseharian. Akhirnya kuliah menjadi pilihan walaupun jauh dari harapan. Prinsipnya pada waktu itu adalah mencri kebebasan yang tak bisa didapatkan bila menjadi anak rumahan.

Kehidupan kampus belum memberikan pengaruh yang bagus. Hingga akhirnya di tahun 1997, Buday bertemu dengan band metal syiar Purgatory dari perkenalan di sejumlah gigs yang kerap disambanginya. Entah angin apa yang membuatnya merasa nyaman di dalamnya dan menumpahkan segala penat yang menyumbat.









Di tengah-tengah keugal-ugalannya, Buday disodori kumpulan lembaran oleh rekanan satu bandnya berjudul Samudera Al-Fatihah yang sukses membuktikan dengan logis akan arti ketuhanan. Walau ia mengakui hidupnya masih belum mengenal berbagai norma keagamaan.
Pada masa ini pula ia mendapat titipan seorang anak lelaki, buah perkawinan dengan seorang wanita yang begitu membekas di hatinya saat duduk di bangku kuliah. Masa inilah yang membuatnya mulai tertampar dari tidur panjang dan mengecap lagi kehidupan sebagai pemimpin keluarga. Namun apa daya, situasi membuat kapalnya harus rela ditenggelamkan.

Kehidupannya yang gelap berangsur-angsur memudar dan penguasa kehidupan mempertemukannya dengan seorang pasangan pendamping hidup di tahun 2009 lalu. Hingga memiliki buah pernikahan kedua [seorang anak laki-laki yang lucu nan menggemaskan] Rayyan Widi Alastair.


Sekitar satu dasawarsa bersama Purgatory yang banyak menyuntikkan banyak hal positif akhirnya dilepas namun tidak pernah melupakan arti kebersamaan dan mimpi-mimpi yang pernah diraihnya bersama teman-teman seperjuangan.

Pergulatannya dengan dunia digital imaging dan musik tidak membuatnya menggantung mimpi sebagai musisi hebat atau desainer handal. Baginya, mimpi semacam itu hanyalah bagian dari sebuah mimpi besar. “Menjadi ini atau itu hanya bagian sebuah perjalanan. Semua akan berujung pada memberikan yang terbaik untuk keluarga. Mimpi terbesar saya adalah memberikan yang terbaik untuk kedua putra saya Rayyan dan Bio, serta istri tercinta Dewi ‘Iwed’ Andriani. Jalannya seperti apa, biarkan penguasa kehidupan yang menunjukkan,”.